TUGAS EKOLOGI LAHAN BASAH
POTENSI DAN PENYEBARAN LAHAN GAMBUT SERTA PENGELOLAANYA DI SUMATERA SELATAN
Oleh
Nama : Sapto Wibowo
Nim : 08071004003
Dosen Pembimbing : Dr. Rasyid Ridho, M.Si.
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
INDERALAYA
2010
BAB I
PENDAHULUAN
Tanah gambut adalah tanah-tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisa-sisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Dalam sistem klasifikasi baru (Taksonomi Tanah), tanah gambut disebut Histosols (histos = tissue = jaringan). Dalam system klasifikasi lama, tanah gambut disebut dengan Organosols yaitu tanah yang tersusun dari bahan tanah organik. (Soil Survey Staff, 1998).
Lahan rawa gambut di Indonesia cukup luas, yaitu sekitar 20,6 juta ha atau 10,8 % dari luas daratan Indonesia. Lahan rawa gambut tersebut sebagian besar terdapat di empat pulau besar, yaitu Sumatera 35%, Kalimantan 32%, Sulawesi 3% dan Papua 30% (Wibowo dan Suyatno, 1998).
Lahan rawa gambut merupakan salah satu sumberdaya alam yang mempunyai fungsi hidro-orologi dan fungsi lingkungan lain yang penting bagi kehidupan seluruh mahluk hidup. Nilai penting inilah yang menjadikan lahan rawa gambut harus dilindungi dan dipertahankan kelestariannya. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam termasuk lahan rawa gambut secara bijaksana perlu perencanaan yang teliti, penerapan teknologi yang sesuai dan pengelolaan yang tepat. Dengan tiga langkah di atas mutu dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungannya dapat dipertahankan untuk menunjang pembangunan berkelanjutan. Khususnya di lahan rawa gambut informasi tentang sifat-sifat kritis sumberdaya lahan rawa gambut, kondisi dan penggunaan lahannya pada saat ini (existing landuse) merupakan sumber informasi utama untuk menyusun perencanaan yang lebih akurat, mengoptimalkan pemanfaatan, dan usaha konservasinya.
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya yang menyebabkan rendahnya tingkat perkembangan biota pengurai. Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik (Hardjowigeno, 1986).
Tanah gambut selalu terbentuk di tempat yang kondisinya jenuh air atau tergenang, misalnya cekungan-cekungan di daerah pelembahan, rawa bekas danau, atau di daerah depresi / basin di dataran pantai diantara dua sungai besar. Pada cekungan-cekungan tersebut terdapat bahan organik dalam jumlah banyak yang dihasilkan oleh tumbuhan alami yang telah beradaptasi dengan lingkungan jenuh air. Lingkungan yang jenuh air dan tergenang mencegah penghancuran dan mineralisasi bahan organik sehingga terbentuk timbunan bahan organik yang merupakan gambut topogen atau gambut air tanah. Anderson (1964 dalam Mutalib et el. 1991) menyebutnya sebagai Valley peat yang menempati pelembahan sempit diantara sungai-sungai kecil, pada landscape perbukitan rendah di atas dataran pantai. Karena tempat terbentuknya gambut berada di daerah rendah, gambut akan menerima bahan-bahan mineral yang dibawa banjir. Mineral yang terbawa banjir ini jenisnya bervariasi sesuai dengan jenis mineral dan tipe batuan di daerah yang menjadi sumber mineral tersebut. Mineral-mineral inilah yang menjadikan gambut topogen lebih subur di banding dengan gambut ombrogen.
BAB II
ISI
Lahan gambut adalah lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk.
Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols yaitu tanah yang memiliki lapisan bahan organik dengan berat jenis (BD) dalam keadaan lembab <> 60 cm atau lapisan organik dengan BD > 0,1 g cm-3 dengan tebal > 40 cm (Soil Survey Staff, 2003).
Gambut diklasifikasikan lagi berdasarkan berbagai sudut pandang yang berbeda; dari tingkat kematangan, kedalaman, kesuburan dan posisi pembentukannya. Berdasarkan tingkat kematangannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut saprik (matang) adalah gambut yang sudah melapuk lanjut dan bahan asalnya tidak dikenali, berwarna coklat tua sampai hitam, dan bila diremas kandungan seratnya <>
2. Gambut hemik (setengah matang) (Gambar 2, bawah) adalah gambut setengah lapuk, sebagian bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarma coklat, dan bila diremas bahan seratnya 15 – 75%.
3. Gambut fibrik (mentah) (Gambar 2, atas) adalah gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih bisa dikenali, berwarna coklat, dan bila diremas >75% seratnya masih tersisa.
Gambar 1. Proses pembentukan gambut di daerah cekungan lahan basah: a. Pengisian danau dangkal oleh vegetasi lahan basah, b. Pembentukan gambut topogen, dan c. Pembentukan gambut ombrogen di atas gambut topogen (Noor, 2001 mengutip van de Meene, 1982).
2.1. Potensi Lahan Gambut
Lahan gambut bisa produktif bila tanahnya berliat dan tidak terlalu masam atau ketebalan gambutnya tipis (<50cm),>Valley peats”. Gambut valley peat mempunyai potensi lebih baik jika dibandingkan dengan gambut basin peats karena valey peat umumnya berupa gambut topogen yang sudah melapuk bahan organiknya dan diklasifikasi sebagai Troposaprists atau Tropohemists. Pada wilayah kubah gambut, pada pinggiran kubah (fringes), terdapat gambut topogen dangkal sampai sedang yang sering mengandung sisipan-sisipan lapisan tanah mineral yang terbentuk oleh pengaruh luapan/banjir air sungai dan air tanah. Pinggiran kubah gambut dengan ketebalan gambut sedang (1- 2 meter), masih berpotensi untuk dikembangkan menjadi areal pertanian.
Semakin tebal gambut, semakin kurang potensinya untuk pertanian. Gambut sangat dalam (lebih dari 3 meter) umumnya miskin hara dan menjadi bahan perdebatan pemanfaatannya yang terbaik. Namun umumnya cenderung tidak dibuka atau tidak dimanfaatkan untuk pertanian, karena permasalahan yang cukup berat dalam pengelolaan dan mempertahankan produktivitas lahannya (Subagjo, 1997).
Potensi lahan gambut untuk pertanian selain dipengaruhi oleh factor kesuburan alami gambut juga sangat ditentukan oleh tingkat manajemen usaha tani yang akan diterapkan. Produktivitas usaha tani lahan gambut pada tingkat petani, yang umumnya mempunyai tingkat kelola rendah (low inputs) sampai sedang (medium inputs), akan berbeda dengan produktivitas lahan gambut dengan tingkat manajemen tinggi (high inputs) yang diterapkan oleh swasta atau perusahaan besar.
Driessen dan Sudewo (1975) melaporkan bahwa terdapat 106 jenis tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada tanah bergambut (peaty soils), gambut dangkal (0,5-1 meter) sampai gambut dalam (lebih dari 2 meter) baik di Indonesia, Malaysia maupun Sarawak. Sebagian besar memang menggunakan pupuk dan kapur. Dari 106 jenis tanaman tersebut, terdapat 11 spesies tanaman serealia, akar dan umbi-umbian, 8 spesies tanaman mengandung minyak, 7 tanaman serat, 2 tanaman latex, 23 tanaman buah-buahan, 27 tanaman sayuran serta berbagai
rumputan dan tanaman lainnya.
Berdasarkan tingkat kesuburannya, gambut dibedakan menjadi:
1. Gambut eutrofik adalah gambut yang subur yang kaya akan bahan mineral dan basa-basa serta unsur hara lainnya. Gambut yang relative subur biasanya adalah gambut yang tipis dan dipengaruhi oleh sediment nsungai atau laut.
2. Mesotrofik adalah gambut yang agak subur karena memiliki kandungan mineral dan basa-basa sedang.
3. Gambut oligotrofik adalah gambut yang tidak subur karena miskin mineral dan basa-basa. Bagian kubah gambut dan gambut tebal yang jauh dari pengaruh lumpur sungai biasanya tergolong gambut oligotrofik.
2.2. Penyebaran Lahan Gambut
Penyebaran lahan gambut di Sumatera Selatan, merupakan terluas kedua di Sumatera, yakni mencakup 1.483.662 ha. Penyebarannya terdapat di lima kabupaten, tetapi yang paling dominan terdapat di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 769 ribu ha (51,8 %), dan Musi Banyuasin (Muba) seluas 593 ribu ha, atau 40,0 % (Tabel 21). Di ketiga kabupaten lainnya, yaitu Bangka, Musirawas, dan Muaraenim relatif sedikit, karena hanya berkisar antara 24.104 dan 63.620 ha atau 1,6 % sampai 4,3 %.
Lahan/tanah gambut mempunyai penyebaran pada lahan rawa, yaitu lahanyang menempati posisi peralihan di antara ekosistem daratan dan perairan. Sepanjang tahun atau selama waktu yang panjang dalam setahun, lahan,ini selalu jenuh air (waterlogged) atau tergenang air. Tanah gambut menempati cekungan, depresi, atau bagian-bagian terendah di pelembahan, dan penyebarannya terdapat di dataran rendah sampai dataran tinggi. Yang paling dominan adalah lahan gambut yang terdapat pada lahan rawa di dataran rendah sepanjang dataran pantai. Hamparan lahan gambut yang sangat luas, pada umumnya menempati depresidepresi yang terdapat di antara aliran sungai–sungai besar di dekat muara, dimana gerakan naik turunnya air tanah dipengaruhi pasang surut harian air laut.
Di pulau Sumatera, penyebaran lahan gambut pada umumnya terdapat di dataran rendah sepanjang pantai timur, yaitu dengan urutan dominasi berturut-turut terdapat di wilayah propinsi Riau, Sumatera Selatan, Jambi, Sumatera Utara dan Lampung. Penyebarannya ke arah pedalaman/hilir sungai mencapai sekitar 50-300 km dari garis pantai. Dalam wilayah yang lebih sempit, lahan gambut juga ditemukan di dataran pantai barat pulau, khususnya di wilayah propinsi Bengkulu, Sumatera Barat dan Aceh. Penyebarannya ke arah hilir sungai umumnya mencapai sekitar 10-50 km dari garis pantai. Tanah gambut dan tanah mineral (non gambut) secara bersama menyusun lahan rawa.
Data dan informasi penyebaran lahan gambut tahun 1990 diperoleh dari hasil pengolahan data digital penyebaran lahan gambut dari 42 lembar (sheet) Peta Satuan Lahan dan Tanah seluruh daratan Pulau Sumatera, skala 1:250.000. Penyebaran lahan gambut pada peta tersebut dibuat berdasarkan hasil pemetaan tanah tingkat tinjau (skala 1:250.000) tahun 1986-1990, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Tanah melalui proyek LREP-I (Land Resource Evaluation and Planning Project). Reabilitas penyebaran datanya dipadukan dengan kenampakan
penyebaran lahan gambut pada citra satelit Landsat MSS (Multi Spectral Scanner, paper print) berwarna semu (false color) tahun 1990.
Hasil penelitian tanah tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar gambut di Sumatera terdapat pada landform Kubah Gambut (peat dome), dan sebagian kecil pada landform dataran marin di rawa pasang surut (tidal swamp), serta landform jalur aliran sungai pada wilayah perbukitan atau dataran yang lebih tinggi. Sebagian besar merupakan gambut ombrogen, sedangkan gambut topogen umumnya hanya ditemukan di beberapa tempat pada daerah jalur aliran sungai.
Berdasarkan derajat pelapukan/ dekomposisi bahan organik penyusun gambut, tanah gambut (ordo: Histosols) dibedakan dalam sub-ordo Fibrists, Hemists, dan Saprists. Fibrists adalah tanah gambut yang relatif belum melapuk atau masih mentah; Hemists : tanah gambut yang derajat dekomposisi bahan gambutnya tengahan, atau setengah melapuk; dan Saprists : tanah gambut yang derajat pelapukan bahan gambutnya sudah lanjut, atau sudah hancur seluruhnya. Tanah gambut yang termasuk Folists (serasah bahan organik di atas batuan, atau pecahan-pecahan batuan) umumnya tidak ditemukan.
Berdasarkan ketebalan atau kedalaman lapisan gambut, tanah gambut dibedakan atas 4 (empat) kelas, yakni: Gambut-dangkal (ketebalan gambut: 50-100 cm), Gambut-sedang (101-200 cm), Gambut-dalam (201-400 cm), dan Gambut-sangat dalam (>400 cm). Sedangkan tanah yang memiliki gambut dengan ketebalan kurang dari 50 cm, atau ketebalan gambutnya sangat dangkal, dalam klasifikasi Taksonomi Tanah tidak lagi tergolong sebagai tanah gambut (Histosols). Tanah demikian disebut Tanah mineral bergambut (peaty soil). Luas dan penyebaran lahan gambut di Pulau Sumatera pada tahun
Luas penyebaran lahan gambut pada masing-masing propinsi, di P Sumatera pada kondisi tahun 1990, adalah sebagai berikut: (i) Lampung, 0,088 juta ha ( 1,2 % dari luas total lahan gambut); (ii) Sumatera Selatan, 1,484 juta ha (20,6 %); (iii) Jambi, 0,717 juta ha ( 9,95 %); (iv) Riau, 4,044 juta ha (56,1 %) (v) Bengkulu, 0,063 juta ha ( 0,88 %); (vi) Sumatera Barat, 0,210 juta ha ( 2,9 %); (vii) Sumatera Utara, 0,325 juta ha ( 4,5 %); (viii) Nanggroe Aceh D., 0,274 juta ha ( 3,8 %).
2.3. Pengelolaan Lahan Gambut
Menurut PP No. 27 Tahun 1991, Bab I Pasal 4 menyebutkan bahwa penyelanggaraan konservasi rawa bertujuan untuk : (1) mempertahankan keseimbangan ekosistem rawa sebagai sumber air; (2) mengatur perlindungan dan pengawetan rawa sebagai sumber air; (3) mengatur pemanfaatan rawa sebagai sumber air; (4) mengatur pengembangan rawa sebagai sumber daya lainnya. Khusus mengenai rawa gambut, KEPPRES No. 32 Th 1990, dalam Bab IV pasal 9 menyebutkan bahwa perlindungan terhadap kawasan bergambut dimaksudkan untuk mengendalikan hidrologi wilayah, yang berfungsi sebagai penambaat air dan pencegah banjir, serta melindungi ekosistem yang khas di kawasan yang bersangkutan.
Penyelenggaraan konservasi lahan rawa gambut meliputi kegiatan perlindungan, pengawetan dan peningkatan fungsi dan manfaat. Oleh karena itu berdasarkan fungsinya wilayah rawa dibedakan ke dalam: (1) kawasan lindung, (2) kawasan pengawetan dan (3) kawasan reklamasi untuk peningkatan fungsi dan manfaat. Kawasan lindung dan pengawetan disebut juga kawasan non-budidaya, sedang kawasan reklamasi disebut juga kawasan budidaya.
Wilayah rawa yang dimasukkan ke dalam kawasan lindung adalah: (a) kawasan gambut sangat dalam > 3 m; (b) sempadan pantai; (c) sempadan sungai; (d) kawasan sekitar danau rawa; dan (e) kawasan pantai berhutan bakau. Kawasan pengawetan atau kawasan suaka alam adalah kawasan yang memiliki ekosistem yang khas dan merupakan habitat alami bagi fauna dan/ atau flora tertentu yang langka. Kawasan lindung berfungsi untuk melindungi keanekaragaman hayati.
Kawasan preservasi hendaknya dipilih di beberapa lokasi yang mewakili ekosistem spesifik tertentu untuk mengawetkan fauna dan flora serta memberikan lahan cukup luas untuk tujuan pemanfaatan dan penelitian ekosistem gambut di masa mendatang. Kawasan pewakil untuk tujuan preservasi alam perlu ditentukan sebelum kawasan untuk peningkatan fungsi dan manfaat atau pengembangan/ reklamasi lahan rawa diproyeksikan. Lahan gambut terutama gambut sangat dalam atau lebih dari 3 m di sekitar Hutan Suaka alam mendapat prioritas untuk dijadikan kawasan preservasi.
Distribusi, jumlah dan luasan kawasan pewakil perlu ditentukan alokasinya secara seimbang sehingga tujuan preservasi sumberdaya gambut tercapai. Demi pengamanan kawasan preservasi sebaiknya ditetapkan antara 2 sungai alam dengan batas-batas alami yang jelas walau di dalamnya terdapat juga lahan non gambut dan gambut yang kurang dari 3 m. Fungsi-fungsi penting lahan gambut terutama yang masih mempunyai penutupan vegetasi alami antara lain adalah fungsi hidrologi, fungsi sebagai cadangan karbon dan sebagai sumber plasma nutfah.
Keberhasilan pengelolaan lahan rawa dan atau lahan rawa gambut memerlukan ketepatan konsep, dan penerapannya serta didukung oleh pengembangan dan inovasi dari kedua komponen tersebut. Pengelolaan juga baru bisa dikatakan berhasil jika mampu memberikan manfaat utuk hari ini dan masa yang akan datang. Kehati-hatian dan kajian yang mendalam harus menjadi pangkal dari setiap rencana pengelolaan dan pengembangan. Sumberdaya alam adalah sesuatu yang terlalu berharga untuk dijadikan sasaran pengembangan tanpa suatu konsep yang jelas.
Di daerah lahan gambut di pulau Sumatera, tanaman yang umum diusahakan rakyat adalah tanaman pangan seperti padi, jagung, sorghum, ketela pohon, ubi jalar, talas. Tanaman semusim lain yang diusahakan berupa tanaman palawija dan sayuran seperti kedelai, kacang tanah, kacang tunggak, terong, mentimun, kacang panjang, cabe. Tanaman tahunan yang berupa tanaman buah-buahan yang umum diusahakan adalah nenas, pisang, nangka, jeruk, rambutan, mangga, petai, jengkol, dan jambu mete. Sedangkan tanaman tahunan yang berupa tanaman perkebunan dan industri antara lain tebu, kelapa sawit, kelapa, kakao, kopi, cengkeh, kapok, rami, rosela, karet, sagu, dan bambu. Nenas, jagung, ketela pohon dan talas tumbuh sangat baik pada tanah gambut.
Gambar 2. Lahan Gambut yang di tanami Padi.
Apabila daerah depresi di mana terdapat gambut topogen yang cukup dangkal, maka massa gambut yang terus bertambah tebal, akan segera tumbuh di atas permukaan air tanah. Gambut yang terus tumbuh tidak lagi terkena banjir, dan tidak lagi menerima tambahan hara melalui air tanah. Pasokan hara satu-satunya berasal dari air hujan. Gambut yang terbentuk disebut gambut ombrogen, atau gambut air hujan. Pada tahap awal gambut diendapkan secara cepat kemudian tertimbun secara lambat. Penguraian terjadi lebih lambat di pusat rawa (cekungan) yang masam, sehingga menjadikan bahan organik yang tertimbun mempunyai bentuk seperti kubah. (Mackinnon, et al. 2000).
Gambar 3. Lahan gambut dengan puncak kubahnya di bagian tengah
(Murdiyarso, D. dan I.N.N. Suryadiputra, 2003)
BAB III
PENUTUP
Lahan gambut memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-organik > 18%) dengan ketebalan 50 cm atau lebih. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi lingkungan jenuh air dan miskin hara. Oleh karenanya lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk. Dan lahan gambut juga bisa digunakan untuk bercocok tanam tanaman pangan, perkebunan dan industri pada keadaan pH tertentu. Penyebaran lahan gambut di Sumatera Selatan di lima kabupaten, tetapi yang paling dominan terdapat di wilayah Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) seluas 769 ribu ha (51,8 %), dan Musi Banyuasin (Muba) seluas 593 ribu ha, atau 40,0 % (Tabel 21). Di ketiga kabupaten lainnya, yaitu Bangka, Musirawas, dan Muaraenim relatif sedikit, karena hanya berkisar antara 24.104 dan 63.620 ha atau 1,6 % sampai 4,3 %.